Seksualitas yang Direpresi: Antara Konservatisme, Moral, dan Kuasa

Esai ditulis pada 19 November 2021 sebagai Pemantik dalam Diskusi Mingguan BSO Pusdima

Kekerasan seksual di kampus menjadi suatu masalah yang mengakar. Peningkatan kasus dari waktu ke waktu tak dapat dipungkiri. Sebagian korban berhasil menerima keadilan, sebagian  masih berjuang, dan sebagian lainnya? masih terperangkap akan trauma berkepanjangan dalam diam.

Bersuara atau diam, tidak menutup fakta bahwa kondisi kekerasan seksual di kampus diperparah dengan adanya relasi kuasa. Mari melihat pelaku yang didominasi oleh mereka yang memiliki kuasa dalam profesinya, seorang Dosen, Dekan, atau juga Ketua Organisasi.

Meminjam pemikiran Foucault, profesi-profesi tersebut merupakan wujud kuasa yang rentan untuk memonopoli pengetahuan. Profesi-profesi yang rentan untuk memanipulasi, kemudian mengeksploitasi setiap orang yang memiliki relasi dengan mereka.

Ilustrasi Relasi Kuasa dalam Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan (Sumber: NU Online)

Kondisi ini mengindikasikan bahwa kekerasan seksual di kampus adalah hal urgensial. Kampus sebagai ruang akademik masih gagal menciptakan iklim aman-setara bagi setiap individu di dalamnya.

Maka untuk menjawab itu semua, hadirlah Permendikbud Nomor 30. Sebuah regulasi yang mengatur pencegahan hingga penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Tentu saja ini menjadi secercah harapan untuk keadilan para korban. Namun, hadirnya harapan juga diiringi dengan ancaman, sebuah penolakan.

Penolakan yang hadir didasarkan atas moralitas kelompok konservatif, narasi yang mereka bawakan kini tak ayal menggunakan logika yang sama ketika mereka menolak RUU PKS. Mari memahami terlebih dahulu logika dalam narasi yang mereka bawakan. Kelompok konservatif menolak adanya Permendikbud karena aturan tersebut menekankan konsep sexual-consent atau persetujuan seksual.

Ilustrasi Penjelasan Konsen yang Benar (Sumber: Planned Parenthood)

Konsep itu dipahami bahwa ketika individu menolak segala tindakan seksual entah itu fisik maupun verbal dari individu lain, maka individu yang memaksakan tindakan tersebut telah melakukan kekerasan seksual. Logika kelompok konservatif menyatakan bahwa ketika konsep “konsen” ini eksis, maka aturan tersebut sama saja melegalkan hubungan seksual atas persetujuan di luar nikah.

“Jangan biarkan zina itu ada!”, teriaklah seorang lelaki dengan atribut agama khasnya. Mereka tidak memusatkan bagaimana suatu aturan dapat menangani “kekerasan”. Tetapi, argumen dengan obsesi akan penegakan moral, seks di luar nikah harus dilarang. Tak luput mereka juga membawakan analogi seperti, “Apabila mahasiswa suka sama suka melakukan seks di ruang kelas juga diperbolehkan dong?”.

Gambar Aksi Penolakan RUU PKS (Sumber: Hidayatullah)

Lebih lanjutnya, untuk memperkuat narasi mereka menggunakan dikotomi budaya, “Permendikbud adalah aturan yang sarat akan budaya barat, tak cocok dengan budaya timur!”. Lagi-lagi menunjukan bahwa kekerasan bukanlah hal utama dari apa yang mereka perjuangkan. Melainkan, kelompok konservatif memperjuangkan kebenaran mutlak versi mereka bahwa seksualitas adalah hal yang perlu dikekang dan dibatasi.

Penolakan kelompok konservatif akan Permendikbud merepresentasikan seksualitas masyarakat yang direpresi; dikekang dan dipenjarakan. Foucault dalam buku “Sejarah Seksualitas” menyatakan bahwa keinginan untuk melarang atau menutupi sesuatu justru akan semakin mendorong diskursus tentang itu.

Kelompok konservatif memproduksi kebenaran bahwa seksualitas harus tertutup atas dasar moral. Namun, justru hal ini nantinya menjadi pengekangan di suatu tempat yang memunculkan diskursus pada tempat lain.

Kita dapat melihat dalam fenomena penolakan akan Permendikbud, ada konfrontasi yang dilakukan oleh kelompok konservatif. Mereka menyerang Okky Mandasari, seorang penulis yang mendukung adanya Permendikbud dengan membawa argumen insencurity nilai-nilai agama terhadap moralitas seorang anak. Bukan sebuah sanggahan yang Okky terima dari kelompok tersebut, melainkan ancaman pemerkosaan hingga analogi bermuatan pelecehan verbal.

“Bagaimana kalau anakmu melakukan seks bebas?”
“Bagaimana kalau kamu saja seks dengan mertuamu sendiri toh sama-sama suka?”.

Konfrontasi yang mereka lakukan justru bermuatan fantasi seksual. Inilah sebuah paradoks sebagaimana yang dimaksud oleh Foucault. Kelompok konservatif mengekang seksualitas atas moralitas agama, wacana yang ada pada sisi mereka bahwa zina harus dilarang.

Akan tetapi, di saat yang bersamaan muncul wacana baru, bahwa mereka sesungguhnya terobsesi dan berfantasi seksual secara berlebihan yang digambarkan oleh bagaimana mereka melakukan konfrontasi kepada Okky. Sebuah paradoks, ketika mereka mendikte moralitas akan selangkangan dengan menjustifikasi kekerasan seksual di tempat lain.

Dalam memahami “seksualitas yang direpresi”, Foucault menyatakan bahwa manusia modern merupakan  masyarakat Victorian dalam menyikapi permasalahan seksualitas di ruang publik. Konteks Victorian dalam hal ini adalah bahwa ketika awal abad ke-17 seksualitas sangat terbuka dan tidak tabu di ruang publik.

Potret Suami Istri Zaman Masyarakat Victorian (Sumber: Koropak.co)

Masyarakat pada kala itu dapat mengekspresikan seksualitas mereka dengan lebih leluasa dan merdeka. Kemudian, saat Ratu Victoria berkuasa segala hal berubah. Seksualitas adalah sesuatu yang tabu, ditutupi serapat mungkin, dan dirumahkan.

Seks adalah hubungan suami-istri di dalam rumah, yang mana juga tidak menekankan pada kenikmatan melainkan reproduksi belaka. Reformasi gereja kala itu terjadi di saat bersamaan, membuat seksualitas masyarakat menjadi semakin tertutup.

Alih-alih menutupi, Foucault berpandangan bahwa zaman Victoria ini  justru merepresi seksualitas masyarakat dengan keketatan ala kaum borjuis. Hal ini memproduksi masyarakat yang munafik setelahnya. Muncul sebuah wacana dalam masyarakat “seks adalah hal tabu di ruang publik”. 

Pemaknaan akan wacana tersebut berkembang sehingga menimbulkan represi dan menjadikannya pencarian terhadap kenikmatan di luar kontrol. Masyarakat melampiaskan seksualitas mereka pada hal-hal yang tak terduga, misalnya dengan menonton pornografi dalam diam atau yang terburuk adalah dengan melakukan kekerasan seksual.

Penolakan kelompok konservatif terhadap regulasi anti-kekerasan seksual dengan dasar “seks adalah hal yang harus tertutup” bukan satu-satunya fenomena yang menggambarkan pengekangan seksualitas yang terjadi di Indonesia. Nyatanya perubahan moral di Indonesia berupa seksualitas yang direpresi sudah ada sejak awal era pasca-reformasi.

Foucault mengenalkan metode genealogi kekuasaan, yaitu berupaya melacak jalannya sejarah dari waktu ke waktu sehingga dapat menampilkan wujud tatanan kekuasaan yang ada sekarang ini. Dengan metode tersebut, kita dapat melihat bahwa era pasca-reformasi setelah rezim Soeharto berhasil dijatuhkan, mulai terdapat gairah antar kelompok dalam masyarakat untuk menegakan standar moralitas baru.

Rezim orde baru di sini digambarkan sebagai tatanan kekuasaan lama yang korup dan imoralis. Pahlawan-pahlawan yang berhasil meruntuhkan kekuasaan rezim Soeharto dianggap sebagai mereka yang “baik”, mereka yang “bermoral”. Gairah untuk membenahi tatanan yang dahulunya korup adalah dengan menawarkan moralitas yang berbeda-beda antar kelompok.

Kelompok konservatif islam pada masa kekuasaan Soeharto  ditekan atau tidak diberi kebebasan karena takut menjadi ancaman radikalisme agama yang kontra dengan politik nasionalis ala Soeharto. Pasca-reformasi, demokratisasi terjadi, kelompok konservatif akhirnya berpijak kembali dengan kebebasan dalam berekspresi.

Termasuk dalam hal ini, ekspresi nilai-nilai agama. Ada sebuah gairah penegakan moralitas berdasarkan tafsir nilai-nilai agama oleh mereka (kelompok konservatif). Tentu saja, dalam upaya dikte moral terdapat persaingan dengan kelompok dengan ideologi lain, kelompok islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah misalnya.

 Pada saat itulah konflik muncul: Apakah moralitas yang baik itu? Apa yang dimaksud dengan orang yang baik secara moral? Ini adalah ‘pertempuran’ yang mendefinisikan postauthoritarian Indonesia, dimana masing-masing kelompok yang bersaing adalah untuk memberitakan dirinya sebagai yang otoritas moral (Madasari, 2021).

Muslim menganggap seksualitas sebagai aspek yang sangat penting dari moralitas, banyak perhatian telah diarahkan pada ekspresi dan praktiknya. Tubuh perempuan khususnya telah menjadi medan pertempuran utama di mana kontes tentang demokratisasi, serta moralitas Islam, dilancarkan ( Brenner 2011 ). Dari situlah kita tahu wacana apa yang terus diperjuangkan oleh kelompok konservatif seperti PKS, MUI, FPI, Hizbut Tahrir, dan ICMI. 

Tahun 2008, menjadi titik balik intervensi kekuasaan kelompok konservatif dalam mengekang seksualitas. RUU Pornografi yang diskriminatif terhadap perempuan dan ambigu dalam intepretasi moral disahkan. Berlanjut, Tahun 2016 di mana terjadi krisis LGBTQ. Narasi anti-LGBTQ banyak dimanfaatkan oleh politikus untuk kepentingan menarik suara kelompok islam konservatif, mengingat pada saat itu politik populisme agama sedang kuat-kuatnya.

Ilustrasi Krisis LGBTQ 2016 (Sumber: Dokumentasi Tempo)

Komunitas LGBTQ yang marjinal semakin mengalami diskriminasi. Hingga 2019, muncul pasal problematis pada RUU KUHP yang ingin mengkriminalisasi hubungan seksual pra-nikah. Semua itu menggambarkan proses sistematis kekuasaan membentuk pengetahuan seksualitas yang tertutup-tabu.

 Tak dapat dipungkiri bagaimana kuatnya strategi kelompok konservatif dalam melobi kebijakan yang semakin mengatur moral setiap individu dalam ranah privat. Selangkangan dan identitas kita diatur sedemikian rupa oleh negara. Budaya patriarki yang mengakar membuat tubuh perempuan rentan dipandang sebagai objek seksual, lantas diperparah dengan negara yang mengesahkan UU Pornografi.

Sebuah paradoks ketika seksualitas dikekang-dipenjara, pembicaraan apapun mengenai seks menjadi tabu. Namun, semua itu tidak menjawab masalah yang sesungguhnya; angka kasus kekerasan seksual yang terus meningkat. Masyarakat munafik inilah yang dimaksud oleh Foucault. Kekuasaan menciptakan pengetahuan, setiap masa memiliki “rezim kebenaran”-nya sendiri.

Pengetahuan yang eksis di era perubahan moral Indonesia kali ini dibentuk oleh kekuasaan kelompok konservatif. Pengetahuan bahwa seks dilarang, dirahasiakan serapat mungkin, serta dibuat setabu mungkin atas paranoid “zina dapat mengotori moralitas publik”. Hal apa yang terjadi selanjutnya? pendidikan seksual juga menjadi tabu dan tertutup rapat oleh publik. Masyarakat sejak dini tidak ditanamkan pengetahuan mengenai apa itu konsen? ; bagaimana agar tidak melakukan kekerasan seksual terhadap individu lain? ; hingga bagaimana seks yang aman?.

 Gambaran lainnya adalah bagaimana situs-situs porno dilarang di Indonesia sebagai wujud seksualitas yang dikekang atas moral. Lantas apakah membuat masyarakat menjadi berhenti berfantasi secara seksual dan berhenti mengonsumsi konten-konten porno?. Tidak.

Ilustrasi Penikmat Konten Pornografi (Sumber: Faktual News)

Data mengatakan yang lain, Indonesia merupakan negara dengan tingkat pengakses situs porno tertinggi ketiga di dunia. Masyarakat akan selalu mencoba cara lain yang “tak terduga” untuk menerobos hal-hal yang dikekang, dalam hal ini adalah seksualitas.

VPN diunduh demi dapat mengakses situs-situs porno yang telah diblockir tersebut. Bahkan, platform seperti Twitter menjadi wadah mereka melanggengkan kekerasan seksual berbasis siber. Benar, konten intim tanpa persetujuan tersebar luas dan dinikmati oleh banyak pihak. Tidak sekedar ditonton, tetapi hingga pada level transaksional; dibarter dan diperjual-belikan.

 Foucault berpandangan bahwa kekuasan menentukan apa yang “salah” dan “benar”, yang “normal” dan “abnormal”, yang “dosa” dan “tidak dosa”, serta “yang gila” dan “tidak gila”. Lebih lanjutnya ia menjelaskan episteme, yaitu bahwa setiap zaman memiliki konstruksi atau rezim kebenarannya sendiri, bergantung pada siapa yang berkuasa. Maka, pengetahuan adalah sebuah wacana, sesuatu yang tidak pernah final. “Benar” atau “tidak benar” bagi Foucault tidak dapat benar-benar didefinisikan.

Kelompok konservatif yang memiliki kekuasaan dalam melobi kebijakan yang mengatur moral individu misalnya. Hal ini membentuk pengetahuan yang menunjang kebenaran mutlak bahwa “zina adalah tidak bermoral”. Hal yang dianggap “benar” adalah ketika seks ditutup serapat mungkin. Lalu, hal yang dianggap salah adalah ketika individu melakukan seks secara terbuka.

Semua itu adalah pengetahuan yang eksis karena kekuasaan dan bisa berubah ketika terjadi perubahan dominasi kekuasaan oleh kelompok dengan ideologi lain. Pengetahuan akan standar moralitas pun tentunya akan berbeda dengan apa yang didikte oleh kelompok konservatif kini.

Seksualitas yang direpresi menjadi paradoks tersendiri. Paradoks yang terbentuk atas keterkaitan antara moralitas, kekuasaan, dan kelompok dengan ideologi tertentu. Pembahasan akan moral bagai tak berkesudahan. Ada obsesi tersendiri bagi setiap individu dan kelompok memperjuangkan “apa yang benar?” dan “apa yang salah?”. Kegelisahan lah yang muncul ketika kondisi masyarakat nyatanya tidak sesuai dengan standar moral yang mereka tetapkan. Namun, di balik perbedaan moralitas ini, setidaknya ada satu yang harus disepakati. Kekerasan seksual tidak perlu dilanggengkan, entah oleh penguasa atau kita semua.

Daftar Pustaka

Madasari, Okky. (2021). Shall We Dance? Defining Sexuality and Controlling the Body in Contemporary Indonesia. Singapore: Departement of Malay Studies National University of Singapore

Syilvianty. (2017). Seks dan Kekuasaan. Artikel LSF Cogito. Diakses melalui http://lsfcogito.org/seks-dan-kekuasan/ pada Rabu, 17 November 2021

Davis, Sharyn. (2021). Apa yang Mendorong Perubahan Moral di Indonesia?. Artikel New Mandala. Diakses melalui https://www.newmandala.org/apa-yang-mendorong-perubahan-moral-indonesia/ pada Rabu, 17 November 2021

Madasari, Okky (2021). Jarimu Beringas Fantasimu Norak. Diakses melalui https://omong-omong.com/jarimu-beringas-fantasimu-norak/ pada Rabu, 17 November 2021

Foucault, Michael (1976). Ingin Tahu Sejarah Seksualitas. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia

Tinggalkan komentar