Prekariatisasi di Balik Jaket Hijau

Esai ditulis pada 1 Mei 2022

Ilustrasi Ojek Online sebagai Pekerja Gig (Sumber: Jcomp Freepik)

Bertepatan dengan momentum May Day, kita tak lupa bahwa sudah setahun sejak merger GOTO menghebohkan berbagai kalangan di negeri tercinta, dari mulai si pengamat ekonomi nasional, si proletar tetapi berdasi, hingga si borju pesaing. Sebuah peristiwa besar dalam perekonomian nasional. Bagaimana tidak? merger dua perusahaan hijau itu bernilai Rp 257 Triliun, ungkap si pengamat yang amat antusias. Bahkan, lanjutnya, valuasi GOTO itu sendiri diprediksi bisa mencapai 572,9 Triliun. Angka-angka yang tentunya membuat perut si borju kenyang. 

Lantas, apakah angka-angka dan istilah-istilah yang sulit dipahami abang-abang ojol berjaket hijau-orange dapat menjawab kerentanan yang mereka terima selama di jalan?. Saya kira, para pekerja rentan berjaket hijau-orange di jalan itu hanya meringis ketika diharuskan memikirkan pertanyaan itu. “Waduh merger-merger apa sih Neng?, Saya mah mikirin aja narik hari ini belum mencapai target 200.000, padahal sudah keliling di jalan sampai keling selama 6 jam”, asumsi saya mungkin respon tersebut yang akan dijawab oleh para pekerja rentan berjaket hijau itu.

Kita semua mengetahui bahwa teknologi dan industri yang semakin berkembang diiringi neoliberalisme yang mendominasi roda politik dan perekonomian dunia melahirkan lebih banyak variasi pekerja gig. Salah satu jenis pekerja gig dalam bidang transportasi yang banyak masyarakat kita kenal ialah ojek online, dua perusahaan “hijau” menjadi raksasa dalam sektor gig ini yaitu Grab dan Gojek. Kedua perusahaan tersebut menawarkan konsep kemitraan, sebuah konsep yang dituangkan pada Pasal 1 Ayat 13 UU 20 Tahun 2008, hubungan kerja yang saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Sederhananya, konsep kemitraan eksis ketika perusahaan platform ojek online (Grab atau Gojek) dan driver memiliki hubungan yang setara dan saling menguntungkan. Namun, apakah hubungan ideal yang setara antar pemberi kerja dan penerima kerja benar terwujud?, saya dihadapkan pada skeptisme yang justru cenderung kontra akan hal tersebut.

Sebagaimana kutipan dari buku  “The Precariat: The New Dangerous Class” karya Guy Standing, prekariatisasi tenaga kerja sebagai sebuah fenomena masa kini merupakan produk dari neoliberalisme. Sebuah ideologi yang mendorong agar campur tangan negara diminimalisir dalam hal ekonomi, contohnya ialah pengurangan seminimim mungkin bagi pajak barang dari luar negeri agar sirkulasi barang berjalan lancar dan intesintasnya tinggi,  serta menghilangkan sekat-sekat antar negara dengan lahirnya perusahaan multinasional, mendorong dicabutnya subsidi, dan mendorong fleksibelitas tenaga kerja yang memudahkan sirkulasi tenaga kerja antar negara.

 Kebebasan dan fleksibelitas yang ditekankan dan diidamkan oleh neoliberal diamini dengan banyak perusahaan yang meminimalisir hingga menghilangkan sistem tenaga kerja dengan kontrak jangka panjang dan menggantinya dengan jenis tenaga kerja tidak tetap/kontrak, outsource, magang, hingga kemitraan. Kebijakan dalam hal tenaga kerja yang diterapkan oleh perusahaan di era dominasi neoliberal merupakan apa yang disebut sebagai prekariat, pekerja yang terpisah dari arus utama pertumbuhan ekonomi cepat namun tidak mempunyai kesadaran kelas karena tidak mempunyai serikat kerja, kurang dukungan secara sosial, dan kondisi kerja atau masa depannya tak dijamin oleh perusahaan hingga negara.

Kebebasan semu adalah hal yang melekat dari prekariat, fleksibelitas kerja namun dengan upah yang rendah dan kondisi kerja yang tidak pasti menjadi bagian dasar dalam kebebasan tersebut.  Di balik kebebasan tersebut, sesungguhnya terdapat berbagai kerentanan yang diterima oleh para pekerja, di antaranya ialah tidak adanya jaminan kesehatan dan keselamatan dalam bekerja, jangka waktu yang cenderung tidak pasti, jam kerja yang tidak jelas, masa depan kerja yang juga tidak terjamin, hubungan antar pekerja yang temporer sehingga mengakibatkan lemahnya potensi untuk berserikat, hingga masalah upah yang juga tidak pasti dan umumnya rendah.

Prekariatisasi pekerjaan berupa outsource dan kemitraan misalnya, hubungan tidak langsung antara pemberi kerja terhadap para tenaga kerja membawa keuntungan tersendiri bagi perusahaan, perusahaan dapat lepas dari beberapa tanggung jawab yang wajib ditagih apabila masih mengacu pada sistem lama (tenaga kerja tetap), seperti dalam hal jaminan atas risiko kerja yang dihadapkan pada pekerja itu sendiri. Minimalisir tanggung jawab oleh perusahaan membuat profit yang diperoleh akan lebih banyak. Sebuah hidangan lezat bagi perut rakus borjuis, profit yang maksimal dengan cost dan risiko  terhadap tenaga kerja yang minimal.

Berbicara mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap pekerja, Standing menguraikan setidaknya ada tujuh jaminan yang wajib (seharusnya) diterima oleh pekerja sebagai wujud tanggung jawab perusahaan. Pertama, jaminan pasar tenaga kerja yang mengatur bahwa setiap pekerja harus diberi peluang yang adil dalam memperoleh penghasilan/upah. Apabila dilihat secara luas hal ini diwujudkan dalam bentuk komitmen pemerintah dalam meregulasi perusahaan untuk memenuhi upah penuh terhadap tenaga kerja. Kedua, jaminan tenaga kerja yang mengatur pengawasan dan pencegahan pemecatan massal dan regulasi perekrutan dan pemecatan. Ketiga, keamanan kerja yaitu berupa pemberian peluang bagi tenaga kerja untuk melakukan mobilisasi keatas. Keempat, jaminan kerja yaitu untuk menjaga dan melindungi pekerja terhadap insiden atau kecelakaan dalam lingkunga kerja. Kelima, jaminan reproduksi kemampuan yaitu pemberian kesempatan bagi pekerja untuk mengasah kemampuan, melakukan proses magang, dan kesempatan dalam kompetisi kerja. Keenam, jaminan upah yaitu untuk mengatur gaji maksimum yang stabil dan penetapan standar gaji minimal. Ketujuh, jaminan representasi yaitu menjamin suara kolektif pekerja lewat serikat buruh untuk menyuarakan aspirasi terhadap lingkungan kerja.

Ketujuh jaminan di atas merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap para pekerja dengan kontak panjang (tetap), sifatnya wajib untuk dipenuhi. Akan tetapi, dengan munculnya prekariat, konsep pekerja dengan kontak panjang pun perlahan hilang dan perusahaan mudah sekali untuk melepaskan tanggung jawab terhadap pekerja lewat para pekerja rentan itu sendiri. Para pekerja ojek online tidak memenuhi jaminan pertama berupa regulasi yang menjamin upah mereka, belum ada payung hukum yang mengatur upah pokok yang ada hanyalah tarif minimum. Mereka menerima upah harian yang tidak menentu tergantung pada algoritma yang ada pada aplikasi sehingga dapat sekali terjadi bila para ojek online ini menerima upah yang tidak memenuhi kebutuhannya ketika sepi penumpang.

Begitupun untuk jaminan ketiga yaitu peluang mobilisasi ke atas, konsep kemitraan yang mengimingkan kesetaraan antara perusahaan dan para mitra (ojek online) nyatanya tidak memberi peluang mobilisasi ke atas terhadap para mitranya sendiri, taraf pekerjaan mereka akan tetap stagnan sebagai ojek online. Berbeda dengan pekerja tetap pada perusahaan platform yang memperoleh peluang untuk naik jabatan, menjadi manager misalnya. Kemudian, jaminan keempat mengenai keselamatan kerja pun juga tidak berlaku bagi para ojek online sebagai korban prekariatisasi pekerjaan ini, mereka tidak menerima jaminan kesehatan dan sejenisnya. Kondisi tersebut berdampak pada ketika mereka menerima musibah seperti ditipu atau dicelakai oleh penumpang hingga mengalami kecelakaan di jalan, mereka menanggung segala risiko tersebut sendiri, sementara perusahaan dapat leluasa untuk  lepas tangan.

Dominasi ekonomi gig berupa ojek online baik grab maupun gojek merupakan salah satu jenis baru prekariatisasi pekerjaan yang menetas di era perkembangan teknologi dan industri yang semakin cepat dan massif. Ada beberapa argumen yang mendasari pernyataan tersebut.

Pertama, belum adanya regulasi jaminan bagi para pekerja ojek online, payung hukum terkait hal tersebut masih tidak jelas, tidak ada jaminan dalam hal kesehatan, keamanan di jalan, masa depan, dan aspek krusial lainnya. Padahal pekerjaan sebagai ojek online memiliki banyak sekali risiko di jalan, entah kecelakaan, penipuan oleh penumpang, hingga pembegalan. Kekosongan regulasi atas jaminan membawa mereka pada kondisi amat rentan sebagai pekerja.

Kedua, status kemitraan yang bersifat semu atau palsu,  para pekerja ojek online yang memperoleh status mitra oleh perusahaan platform tidak memperoleh hak-hak sebagai mitra, mereka disebut mitra akan tetapi bekerja dalam hubungan kerja layaknya antara buruh dan pengusaha. Status mitra yang disematkan ini justru dimanfaatkan oleh perusahaan platform untuk menghindar dari beberapa tanggung jawab seperti jaminan upah minimum, jaminan kesehatan, pesangon, upah lembuh, hak libur, hingga jam kerja layak.

Ketiga, para pekerja ojek online tidak memiliki hak atas kontrol yang ada pada aplikasi yang mereka gunakan sebagai bentuk pendisiplinan kerja. Mengutip artikel dari The Conversation, perusahaan platform mengendalikan para ojol sebagaimana kontrol yang sering kita temui di industri. Fungsi kontrol ini digunakan untuk mendisiplinkan ojol, sehingga membuat mereka harus kerja lebih disiplin, lebih lama, dan lebih berat lagi. Kontrol kerja dari perusahaan kepada ojol dilakukan melalui tiga cara; sanksi, penilaian konsumen, dan bonus. Perusahaan aplikasi memberikan sanksi ketika ojol dinilai oleh sistem perusahaan bekerja dengan malas atau tidak disiplin, sehingga akunnya dibuat sepi order atau dihukum tidak dapat membuka akun aplikasi beberasa saat, atau bahkan hingga dapat diputus mitra.  Melalui kontrol-kontrol tersebut yang dilakukan sepihak oleh perusahaan platform, maka janji pekerjaan yang layak dan fleksibel tidak diperoleh oleh para ojol.

Keempat, kerentanan  ojek online juga ditandai dengan monopoli akses informasi dan data oleh perusahaan platform.  Status sebagai mitra tidak lantas membuat para ojol dapat mengakses informasi dan data di perusahaan platform. Ketiadaan akses dan kendali atas data yang kemudian diatur oleh sistem algoritma menjauhkan ojol dari informasi tentang bagaimana tata kelola yang seharusnya dilakukan untuk saling menguntungkan dalam hubungan kemitraan.

Dominasi prekateriatisasi pekerjaan mengingkari janji modernitas-kapitalisme. Alih-alih tercapainya kemajuan dan kebebasan, justru menghasilkan kemarahan, frustasi, kekecewaan, dan ketidakjelasan dalam menyalurkan tuntutan atas kerentanan yang diterima baik kepada negara maupun perusahaan. Kebingungan “ingin marah kepada siapa?”. Juga merupakan fenomena manipulasi kapitalisme lewat tangan-tangan negara.

Menilik sisi gelap lainnya dari konsep mitra palsu dan prekariatisasi di belakangnya, kita dapat melihat bahwa pekerja prekariat sulit untuk berserikat karena kontrak yang singkat dan tidak langsung, sehingga tidak terlalu terikat antar buruh. Mereka sulit melawan penindasan atau eksploitasi yang dilakukan perusahaan. Hal ini lah yang menjadi peluang keuntungan bagi perusahaan untuk terus mengeksploitasi. Perusahaan pemberi kerja steril dari resiko, tidak bertanggung-jawab atas kerentanan yang diperoleh pekerja. 

Dalam konteks Ojek online sebagai prekariat, mereka sulit untuk berserikat, hal ini didasari oleh anggapan bahwa kebanyakan pengemudi ojek online tidak merasa dieksploitasi oleh perusahaan, selain itu beberapa hanya mengemudi ojek untuk penghasilan tambahan, serikat buruh tradisional seperti Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia pun kurang efektif dalam mewakili pekerja online karena kurangnya infrastruktur. Keterlibatan masyarakat sipil juga terbatas, tidak banyak masyarakat sipil terlibat di dalam unjuk rasa ojek online. Ketiadaan serikat di lingkar para pekerja ojek online membuat strategi dalam gerakan sosial yang dicanangkan untuk memperjuangkan kerentanan mereka tidak memiliki strategi yang efektif, cenderung sporadis dan kurang terkoordinasi.

 Lantas apa yang bisa dihadirkan untuk menjawab fenomena prekariatisasi ini?, pertama pemerintah seharusnya membuat payung hukum yang kuat dan jelas terhadap jaminan hak katas pekerjaan para ojek online untuk menjawab segala kerentanan yang ada. Kita dapat mencontohnya dari fenomena yang terjadi di spanyol, para pekerja ojek/kurir online menuntut perusahaan platform Glovo (mirip seperti grab dan gojek) kepada Mahkamah Agung untuk menghilangkan konsep kemitraan dan menetapkan kurirnya sebagai pekerja resmi. Keputusan MA pun berkehendak kepada mereka, 17.000 pekerja kurir online yang rentan tersebut kini dalam proses peralihan sebagai pegawai tetap yang hak-hak dan jaminannya lebih jelas. Tentu keputusan tersebut mengubah wajah ekonomi gig secara drastis, kerentanan para pekerja tersebut teratasi sedikit demi sedikit dan menurut penulis hal tersebut juga dapat berlaku pada para ojek online di Indonesia.

 Kedua, para ojek online ini seharusnya disediakan wadah untuk berserikat, edukasi mengenai hak-hak mereka sebagai pekerja harus disosialisasikan  secara efektif agar tumbuh kesadaran kelas di antara mereka. Serikat para ojek online ini sangat diperlukan untuk menuntut perusahaan memenuhi hak-hak para pekerja dan mengatasi setiap penyimpangan yang dilakukan perusahaan terhadap pekerja. Seperti para driver GOJEK yang menuntut GOTO atas pengurangan intensif mereka melalui aksi mogok kerja, aksi tersebut dapat dilakukan secara efektif dan terkonsolidasi lebih baik melalui serikat pekerja. Perlawanan yang besar bersumber atas solidaritas yang kokoh.  Para pekerja di seluruh dunia, bersatulah!, selamat hari buruh.

DAFTAR PUSTAKA

Standing, Guy. (2011). The Precariat: The New Dangerous Class. New York: The Guardian.

Kalleberg, Anne. (2013).  Precarious Work and The Challenge for Asia

Della, Donatella. (2006). Social Movement An Introductions. Blackwell Publishing

Irfani, Faisal. (2021). Yang Luputdari Gempita GOTO Nasib Kurir Ilusi Kemitraan dan Upah Murah. Artikel Project Multatuli. Diakses melalui https://projectmultatulis.org/yang-luput-dari-gempita-goto-nasib-kurir-ilusi-kemitraan-dan-upah-murah/ 

Novianto, Arif. (2021). Riset: Empat Alasan Kemitraan Gojek, Grab, hingga Maxim Merugikan para Ojol. Artikel The Conversation. Diakses melalui https://theconversation.com/riset-empat-alasan-kemitraan-gojek-grab-hingga-maxim-merugikan-para-ojol-159832 

Hewison, Kevin. (2011). The Left and The Rise of Borgeois Opposition. Routledge Handbook of Southeast Asian Politics

Tinggalkan komentar