Peran Ekologi Pedesaan terhadap Kesejahteraan Masyarakat Desa: Menggeser Paradigma “Orang Kota”

Esai ditulis pada 8 September 2022 sebagai pemenuhan mata kuliah Sosiologi Pedesaan

Ilustrasi Wilayah Urban dan Pedesaan (Sumber: Tartila)

Berbicara mengenai pedesaan identik dengan rentetan pertanyaan “bagaimana memajukan dan menyejahterakan suatu desa?”. Layaknya menjadi perhatiaan populer tersendiri bagi para pemangku kebijakan, sosiolog, bahkan masyarakat kota kelas menengah. Persoalan-persoalan yang ada di desa seringkali dijawab dengan pendekatan top-down atau yang dikenal dengan istilah “sentralistik”.

Kebijakan-kebijakan yang diusung oleh pemerintah terhadap pembangunan suatu desa beranjak dari menara gading para teknokrat yang sering kali tidak benar-benar menyentuh apa yang menjadi kebutuhan sesungguhnya para warga desa. Bagaimana bisa menyentuh kebutuhan dan persoalan mendasar yang menyejahterakan warga desa apabila dalam penyusunan kebijakannya pun masih berparadigma “orang kota” dan tidak partisipatif.

Sebelum lebih jauh, kita sudah seharusnya memahami terlebih dahulu konsep dasar pedesaan. Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Dengan fungsi-fungsi  desa yang ada berdasarkan definisi tersebut, desa memiliki tiga unsur utama dari segi ekologi desa. Unsur ini mencakup lingkungan tempat tinggal, warga desa beserta seluruh aspek sosial budaya di dalamnya, dan pemerintahan atau aparat desa. Ketiga unsur ini saling terintegrasi untuk pada akhirnya memiliki peran dalam memajukan suatu desa dan menyejahterakan para warganya.

Desa seringkali dipandang hanya dari unsur “lingkungan tempat tinggal”nya saja. Hal ini ditunjukkan dengan pandangan yang menghegemoni bahwa desa sekedar sebuah pemukiman terpencil yang kemajuan teknologi dan infrastrukturnya dianggap “terbelakang” dari modernitas kota. Padahal pemahaman mengenai desa dengan menanggalkan dua unsur utama lainnya akan melahirkan penggambaran yang bias. Pada nyatanya, di dalam desa ada warganya sebagai “subjek” atau “aktor” utama pembangunan dan pemerintahan sebagai fasilitator kebijakan pembangunan yang ada.

Dalam memajukan suatu desa, tentu tidak hanya dari pembangunan fisik atau infrastruktur yang bertumpu pada indikator pertumbuhan ekonomi saja. Unsur kedua dalam ekologi desa yaitu “warga desa beserta seluruh aspek sosial dan budaya” memiliki peranan penting dalam hal ini. Pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas menjadi salah satu gambaran upaya yang memasukkan warga desa sebagai subjek utama di dalamnya. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Andi Firman dalam artikel “Pemberdayaan Masyarakat di Desa Berbasis Komunitas”, bahwa pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas mempunyai dimensi strategis dalam menggali potensi dan pengembangan kapasitas masyarakat.

Lebih lanjutnya, dimensi strategis ini adalah di mana warga desa sebagai subjek utama pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat, berangkat dari perencanaan suatu program atau kegiatan yang partisipatif (dilakukan oleh warga desa sendiri) dengan mempertimbangkan aspek-aspek kerarifan lokal dan potensi yang ada. Kemudian, program yang sudah direncanakan secara partisipatif ini akan diimplementasikan sendiri oleh para warga desa dengan pemanfaatan fasilitas dan pendanaan yang bersumber dari pemerintahan desa. Nantinya, basis komunitas yang berisikan kelompok-kelompok atau stakeholder warga desa ini juga menentukan skala spesifik terhadap skala kegiatan yang menjadi unggulan di desa.

Hal ini bisa melingkupi sektor pertanian, pariwisata, pertambangan, hingga industri skala desa. Penentuan skala spesifik ini juga berkaitan dengan unsur “lingkungan tempat tinggal”, di mana setiap desa memiliki potensi sumber daya alam dan karakteristik alamnya tersendiri. Andi Ansar dalam artikelnya mengakhiri bahwa  program pemberdayaan berbasis komunitas ini akan menghasilkan kebermanfaatan yang ditujukan untuk warga desa. Pada prinsipnya, program pemberdayaan berbasis komunitas ini direncanakan oleh warga desa, diimplementasikan oleh warga desa, dan diperoleh hasil juga kembali untuk warga desa.

Kemudian, mengenai unsur ketiga dari desa yaitu “pemerintahan atau aparat desa” juga berperan melengkapi unsur lainnya. Melalui pemberdayaan, tentu saja membutuhkan kasalitator, fasilitator, pemberi informasi, konsultasi, hingga anggaran pendanaan program yang mana itu semua layaknya sepaket sebagai sebuah kewajiban dari birokrat desa. Pemerintahan desa ini juga berperan mewadahi lahirnya kebijakan-kebijakan di desa yang berangkat dari kebutuhan sekaligus mengatasi persoalan dari warga desa itu sendiri. Sudah seharusnya para birokrat desa ini secara demokratis menciptakan wadah yang menjamin segala hak warga desa untuk berpartisipasi baik dalam perencanaan, implementasi, pembentukan, hingga evaluasi segala kebijakan atau program.

Menurut penelitian yang dilakukan Open Nikolaus, ditunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tipe kepemimpinan demokratis kepala desa dengan partisipasi masyarakat dalam membangun desa di Kecamatan Titehena Kabupaten Flores Timur. Di mana tipe kepimpinan yang demokratis berpengaruh sebesar 59,2% terhadap partisipasi masyarakat dalam membangun desa. Hal ini dapat dijadikan salah satu alasan mengapa kepemimpinan demokratis dari birokrat desa ini dapat mewujudkan pemberdayaan dan kebijakan lainnya di desa yang partisipatif dan benar-benar memenuhi kebutuhan warga desa.

Dalam menyejahterakan warga desa juga tidak lepas dari dimensi pendidikan dan gender. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kondisi sosio-kultur di pedesaan secara dominan melanggengkan struktur sosial yang patriarkis sehingga mengakibatkan ketimpangan gender bagi perempuan entah itu dalam mengakses pendidikan maupun pekerjaan yang setara. Pekerjaan di sini tidak hanya di ranah publik saja tetapi juga domestik. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis dalam artikel “Peran Ganda Perempuan dalam Keluarga: Studi Kasus pada Petani Perempuan di Desa Bojong Wetan Cirebon”, perempuan-perempuan di desa terutama dengan mata pencaharian utama sebagai petani umumnya memperoleh peran ganda. Mereka bekerja di ranah publik sebagi petani sekaligus bekerja di ranah domestik sebagai ibu rumah tangga. Peran ganda ini nantinya dapat berkembang menjadi beban ganda ketika melihat pada nyatanya porsi jam kerja sekaligus upah yang mereka peroleh tidak setara dan sebanding dengan laki-laki sebagai suami. Pengetahuan dan kesadaran mengenai keadilan gender serta akses terhadapnya yang masih sulit akan berimplikasi juga terhadap reproduksi ekonomi dan pendidikan yang rendah bagi perempuan di desa.

Maka dari itu, dibutuhkan adanya keterlibatan perempuan-perempuan sebagai warga desa untuk mengikuti program semacam pendidikan kesetaraan gender. Hal ini serupa dengan artikel yang ditulis oleh Ratnawati Tahir berjudul “Pendidikan Alternatif untuk Perempuan Marginal di Pedesaan”, ia menyampaikan bahwa bentuk pembelajaran pendidikan alternatif bagi perempuan desa ini adalah metode pendidikan orang dewasa atau andragogy. Pembentukan kelompok belajar bagi perempuan marginal di desa terdiri atas; kelompok baca tulis dan keaksaraan fungsional.

Proses pembelajaran dimulai dengan sharing pembelajaran, refleksi pengalaman hidup, dan metode role play. Hasilnya 65% peserta pembelajaran mengalami peningkatan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, serta pemahaman atas persoalan perempuan yang memiliki kepercayaan diri dalam pengambilan keputusan rumah tangga dan komunitasnya.. Hal ini menunjukkan betapa signifikansinya pendidikan berkaitan kesadaran gender atau pemberdayaan perempuan bagi warga desa.

Dari bincang panjang kita mengenai ketiga unsur utama dalam ekologi desa, sudah seharusnya dilakukan optimalisasi bagi ketiganya agar perannya saling terintegrasi dengan baik dalam memajukan dan menyejahterakan warga desa. Bahwa berbicara mengenai memajukan suatu desa tidak hanya berkutat pada angka matematis suatu pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur belaka. Ataupun sekedar melalui pencairana Dana Desa yang dalam praktiknya justru menyejahterakan segilintir kelompok elit di pedesaan yang memiliki hak istimewa.

Sudah seharusnya pemerintah atau teknokrat ini menggeser paradigma dalam menjawab persoalan dan kebutuhan warga desa dengan pendekatan yang lebih partisipatis, demokratis, setara, dan juga memanusiakan. Sebagaimana Amartya Sen berucap bahwa keterbelakangan tidak hanya sekedar kekurangan uang, tetapi lebih ke kurangnya kapabilitas untuk memahami satu hal yang potensial berkaitan human being. Mari membangun desa berangkat dari membangun manusianya. Pembangunan yang berkemanusiaan.

Daftar Pustaka

Tahir, Ratnawati. (2011). Pendidikan Alternatif untuk Perempuan Marginal di Pedesaan. Jurnal Ilmu Pendidikan Jilid 17 Nomor 4 Halaman 313-321. Universitas Muhammadiyah Makassar

Firman, Andi. (2021). Pemberdayaan Masyarakat di Desa Berbasis Komunitas. Jurnal Tata Sejuta STIA Mataram Vol.7 Nomor 1

Nikolaus, Open. (2014). Hubungan Antara Kepemimpinan Tipe Demokratis Kepala Desa Dengan Partisipasi Masyarakat Dalam Membangun Desa Di Kecamatan Titehena Kabupaten Flores Timur. Jurnal Administrasi Publik dan Birokrasi Vol. 1 Nomor 1. Universitas Terbuka

Habibi, Muhtar. (2018). Dana Desa Hanya Memberdayakan Elite Desa, Bukan Petani. Artikel Tirto ID. Diakses melalui https://tirto.id/dana-desa-hanya-memberdayakan-elite-desa-bukan-petani-dawv pada 10 September 2022

Tinggalkan komentar